Aqidah yang berasal dari
bahasa Arab yang pluralnya adalah ‘aqaaid artinya: Sesuatu yang telah
terikat dalam hati (sehingga tidak akan mungkin berubah lagi pada umumnya),
karena ia telah melengket dalam hati yang menjadi kepercayaan bagi agama yang
dianut oleh manusia.
Aqidah disebut juga dengan i’tiqad atau dengan mazhab yang artinya:
ajaran yang telah terikat dalam hati, sehingga menjadi kenyataan dalam
kepercayaan dan keyakinan, sehingga dapat juga disebutkan dengan faith dan
doctrine. Aqidah manusia berarti mazhabnya, dan mazhab merupakan
i’tiqad dan kepercayaan. Mazhab juga merupakan sesuatu yang dipercayai,
juga dapat berarti jalan atau pokok, yang semuanya itu menurut
kamus berbahasa Inggris disebutkan dengan Creed (pernyataan kepercayaan;
keyakinan; syahadat; iman), Belief (kepercayaan; keyakinan), Doctrine
(ajaran).
Bagaimanakah aqidah yang
benar menurut ajaran Islam? Sebagian orang mengatakan bahwa aqidahnya telah
benar, tetapi pada hakikatnya aqidah mereka tersebut adalah tidak benar. Itulah
sebabnya, maka dalam kitab-kitab tauhid kita dapat menemukan kata ma’rifah;
selaku ibarat dari kepastian ilmu yang wajib atas setiap orang Islam
pada aqidahnya mengenai keTuhanan Yang Maha Esa, keNabian dan keRasulan bagi
para Nabi dan Rasul-Nya.
Hakikat ma’rifah
ialah: aqidah yang pasti dalam keyakinan yang sejalan dengan kenyataan dan
bersumber dari dalil. Yang dimaksud dengan kenyataan; adalah menurut
ilmu Allah atau apa yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz dan kemudian dijelaskan oleh kitab-kitab suci yang sah yaitu Taurat, Zabur,
Injil, dan ditutup dengan kitab suci Al-Qur’an (hal
keadaan ini berdasarkan pemahaman dari kitab suci Al-Qur’an di mana para ulama
Islam telah memakluminya).
Apabila orang berkata
bahwa aqidah yang pasti yang disebut dengan kalimat Al Jazmu,
pengertiannya ialah Al Idraak yakni hasil dari daya tangkap akal
manusia, dan ini tidak ada hubungannya, apakah sejalan dengan ilmu Allah atau
sejalan dengan Lauhul Mahfudz.
Jawabannya ialah bahwa
pengertian Al Jazmu ialah aqidah yang bersifat pasti yang sejalan
dengan sesuatu yang dii’tikadkan itu adalah ada hubungannya dengan ilmu Allah
atau dengan apa yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz. Maka keluarlah aqidah yang tidak demikian seperti aqidah orang-orang
Nasrani tentang Trinitas atau tidak berdasarkan dalil. Hal keadaan itu
disebut dengan jahil murakkab, yakni merasa ada ilmu yang karena itu
dijadikan aqidah, padahal tidak ada ilmunya dan ini tidak ia ketahui. Demikian
pula al jazmu yang datang secara mudah (daruurah) maka
tidak dinamakan dengan ma’rifah, meskipun dapat dinamakan dengan ilmu.
Maka apabila aqidah itu tidak sejalan dengan
kenyataan yang benar menurut dasar di atas, maka dikatakan dengan juhul
murakkab (kejahilan berganda) seperti aqidah orang Nasrani tentang Trinitas
dan aqidah-aqidah yang tidak benar.
Sumber :
Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Muhamamd Waly
Thanks for reading & sharing PENGAJIAN TAUHID
0 komentar:
Post a Comment